Pajak di Masa Pandemi
Pandemi virus corona atau Covid-19 memberikan dampak yang besar terhadap perekonomian global. Ini termasuk pula sektor perpajakan. Seberapa lama pandemi ini berlangsung dan seberapa dalam dampaknya bagi aktivitas sosial-ekonomi akan menentukan masa depan sektor perpajakan di Indonesia. Bawono Kristiaji, Partner of Tax Researcher & Training Service DDTC, mengatakan, belajar dari berbagai krisis sebelumnya, kebijakan fiskal yang ekspansif kerap menjadi opsi yang diambil oleh berbagai negara untuk menyelamatkan ekonomi.
Jurus utamanya adalah belanja yang besar dan relaksasi pemungutan pajak. Oleh sebab itu, kata Bawono, penerimaan pajak pada umumnya bakal terkena dua pukulan telak sekaligus. Perlambatan ekonomi secara alamiah mengurangi basis pajak. "Di sisi lain, belanja pajak sebagai wujud pajak yang bersifat regulerend akan banyak digelontorkan," ujar Bawono dalam keterangannya, Senin (18/5/2020). Bawono menuturkan, langkah yang diambil pemerintah dalam jangka pendek akan berpengaruh pada postur fiskal jangka menengah dan panjang. Relaksasi yang saat ini digelontorkan pemerintah akan berimbas pada pemungutan eksesif di masa depan.
Berkaca dari kondisi pasca terjadinya krisis ekonomi 2008, Bawono menyebutkan, setidaknya ada sembilan prediksi terkait masa depan sektor perpajakan. Pertama, dari defisit menuju konsolidasi fiskal. Untuk menghadapi krisis, pemerintah biasanya merilis kebijakan fiskal yang ekspansif yang biasanya mengakibatkan defisit anggaran. Kedua, kebijakan pajak berfokus di sektor pajak pertambahan nilai (PPN). Menurut Bawono, kebijakan perpajakan di banyak negara pasca krisis 2009 lebih banyak berkaitan dengan sektor PPN, entah peningkatan tarif, perluasan basis, maupun pembenahan sistem teknologi informasi (TI) untuk menjamin kepatuhan.
Ketiga, upaya mengoreksi penyebab krisis. Pasca krisis, pemerintah pada umumnya akan mencari penyebab dan mengantisipasi faktor yang sekiranya bisa memicu risiko yang sama di kemudian hari.
Keempat, volatilitas regulasi dan reformasi pajak. Tekanan unuk menanggulangi defisit serta utang dan upaya menjaga stabilitas ekonomi akan mendorong berbagai peurubahan regulasi pajak. "Urgensi reformasi pajak, baik yang bersifat komprehensif maupun parsial, akan meningkat tajam," ujar Bawono.
Kelima, kompetisi pajak. Perubahan sistem pajak, gelontoran insentif, serta penurunan tarif baik PPh badan maupun tarif pajak atas kapital tetap akan terus meningkat dan menjadi favorit pembuat kebijakan. "Insentif pajak penelitian dan pengembangan (litbang) dan untuk tujuan penyerapan tenaga kerja akan menjadi menu andalan banyak negara," jelas Bawono. Keenam, tren global tax governance. Di masa mendatang, Bawono mengatakan, sentimen secara global akan memasuki fase baru yang mengarah ke distribusi pajak yang lebih adil. Ketujuh, terobosan untuk menambal penerimaan pajak. Bawono memperkirakan, penyesuaian treshold bagi kelompok berpenghasilan rendah, tarif progresif PPh orang pribadi, maupun pajak yang berbasis atas kekayaan akan semakin dipertimbangkan. Pemerintah juga akan menggali sumber penerimaan dari cukai.
Selama ini cukai hanya dibebankan atas produk rokok, minuman beralkohol, dan etil alkohol. Padahal, ada banyak barang lain yang dapat dikenakan cukai, seperti plastik, minuman berpemanis, dan bahan bakar minyak (BBM). Kedelapan, strategi otoritas pajak untuk meningkatkan kepatuhan. Pandemi Covid-19 memberikan pelajaran penting bagi seluruh otoritas pajak yaitu kesiapan administrasi pajak berbasis teknologi informasi (TI). Ke depan, Bawono memprediksi penggunaan TI akan dikembangkan tidak hanya atas pelayanan dan pelaporan, tapi juga meluas ke arah e-audit, e-access, dan penggunaan artificial intelligence. Kesembilan, sengketa dan wajib pajak. Perubahan regulasi dan tingginya kebutuhan penerimaan diperkirakan akan meningkatkan jumlah sengketa.
Semoga sistem pajak lebih baik apalagi dimasa pandemi seperti ini ya min
ReplyDeleteTerimakasih informasinya min
ReplyDeleteTerimakasih kak sangat bermanfaat informasinya
ReplyDelete